Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan

Jaka
Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Dia juga seorang
pemburu yang handal. Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya. Jaka
Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil. Pagi itu Jaka Tarub
telah siap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah
disiapkannya. Jaka pergi kehutan untuk
berburu mencari hewan buruan untuk dimakan. Sesampainya dihutan dia mencari
cari apa yang akan menjadi binatang buruannya. Tetapi pagi itu dia bernasib
sial, jaka tidak memperoleh apapun untuk bias dimakannya. “Pertanda apa ini ?”,
pikirnya. Jaka Tarub segera menepis pikiran buruk yang melintas di benaknya.
Setelah beristirahat sejenak, ia segera berjalan lagi. Nasib sial belum mau
meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali, tak
seekor hewan buruanpun yang melintas.
Matahari makin meninggi. Jaka Tarub merasa
lapar. Tak ada bekal yang dibawanya karena ia memang yakin tak akan selama ini
berada di hutan. Dia justru lebih banyak melamun. Karena rasa haus yang baru
dirasakannya, Jaka Tarub melangkahkan kakinya ke arah danau. Danau yang
terletak di tengah Hutan, Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub
menghentikan langkah kakinya. Telinganya menangkap suara gadis gadis yang
sedang bersenda gurau. Dengan mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya
lagi menuju Danau tersebut. Suara tawa gadis gadis itu makin jelas terdengar.
Jaka Tarub mengintip dari balik batu besar di tepi danau tengah hutan. Alangkah
terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di
Danau tersebut. Jantungnya berdegub makin kencang. Semuanya berparas sangat
cantik. Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu
adalah bidadari yang turun dari kayangan.
Jaka
Tarub melihat tumpukan slendang bidadari di atas sebuah batu besar di pinggir
danau. Semua slendang itu memiliki warna yang berbeda. Karena terpikat, dia
mengambil salah satu selendang berwarna oranye yang tengah disampirkan
oleh salah seorang bidadari. Ketika ketujuh bidadari selesai mandi, bidadari -
bidadari itu satu persatu mengambil selendang miliknya dan bersiap untuk
terbang. Namun, salah seorang diantara mereka tidak menemukan selendangnya dan
dia pun tidak bisa terbang ke kayangan kembali. Karena waktu mereka telah
hampir habis, dia ditinggal oleh para saudaranya sendiri di danau itu. Bidadari
itu merasa sedih dan menangis. Bidadari tersebut bernama Nawangwulan.
Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa. Ia hanya bisa mengangguk dan
melambaikan tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan meninggalkan
Danau. “Mungkin memang nasibku untuk menjadi penghuni bumi”, pikir Nawangwulan
sambil mencucurkan air mata.
Nawangwulan
kelihatan putus asa. Tiba tiba tanpa sadar ia berucap “Barangsiapa yang bisa
memberiku pakaian akan kujadikan saudara bila dia perempuan, tapi bila ia laki
laki akan kujadikan suamiku”. Jaka Tarub yang sedari tadi memperhatikan gerak
gerik Nawangwulan dari balik pohon tersenyum senang. “Akhirnya mimpiku menjadi
kenyataan”, pikirnya. Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan berjalan
kearah danau. Ia membawakan baju untuk bidadari itu. Dengan pura – pura tidak
tau bahwa ada wanita cantik yang sedang berendam di danau tersebut. “Aku Jaka
Tarub. Aku membawakan pakaian yang kau butuhkan. Ambillah dan pakailah segera.
Hari sudah hampir malam” ucap Jaka Tarub. “Aku Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa
kembali kesana karena slendangku hilang”, kata Nawangwulan memperkenalkan diri.
Ia memenuhi kata kata yang diucapkannya tadi. Tanpa ragu Nawangwulan bersedia
menerima Jaka Tarub sebagai suaminya.
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tahun pun berganti tak terasa rumah
tangga Jaka Tarub dan Nawangwulan telah dikaruniai seorang putri yang diberi
nama Nawangsih. Tak seorangpun penduduk desa yang mencurigai siapa sebenarnya
Nawangwulan. Jaka Tarub mengakui istrinya itu sebagai gadis yang berasal dari
sebuah desa yang jauh dari kampungnya. Sejak menikah dengan Nawangwulan, Jaka
Tarub merasa heran mengapa padi di lumbung mereka kelihatannya tidak berkurang
walau dimasak setiap hari. Lama lama tumpukan padi itu semakin meninggi. Pada
suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai. Ia menitipkan Nawangsih pada
Jaka Tarub. Nawangwulan juga mengingatkan suaminya itu untuk tidak membuka
tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya.
tetapi Jaka Tarub tetap ingin membuka kukusan nasi itu. Dia merasa ingin tau apa yang ada dalam kukusan nasi hingga ia menghiraukan pesan Nawangwulan.
tetapi Jaka Tarub tetap ingin membuka kukusan nasi itu. Dia merasa ingin tau apa yang ada dalam kukusan nasi hingga ia menghiraukan pesan Nawangwulan.
Betapa
terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu. Nawangwulan hanya memasak
setangkai padi. Nawangwulan yang rupanya telah sampai di rumah menatap marah
kepada suaminya yang tertunduk dihadapannya “Kenapa kau melanggar pesanku Mas
?”, tanyanya berang. Jaka Tarub tidak bisa menjawab. Ia hanya terdiam.
“Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul
nasi”. Jaka Tarub menyesali perbuatannya. Pada suatu hari Ketika sedang menarik
batang batang padi, Nawangwulan merasa tangannya memegang sesuatu yang lembut.
Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah Nawangwulan
seketika pucat pasi menatap benda yang baru saja berhasil diraihnya. Baju
bidadari dan selendang yang dikenalnya.
Nawangwulan
merasa dirinya ditipu oleh Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya. dia
sama sekali tidak menyangka ternyata orang yang tega mencuri bajunya adalah
Jaka Tarub.“Kenapa kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub ?”, tanya
Nawangwulan dengan nada sedih. “Maafkan aku Nawangwulan”, hanya itu kata kata
yang sanggup diucapkan Jaka Tarub. Dia terlihat sangat menyesal. “Aku akan
kembali ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang bidadari. Tempatku
bukan disini”Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Dia ingin terlihat
tegar. Setelah Jaka Tarub menyatakan kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi
dengan Nawangwulan, sang bidadaripun terbang meninggalkan dirinya dan
Nawangsih. Nawangsih yang semakin tumbuh besar, dan dia akan segera menikah
dengan seseorang. Tetapi dibalik itu Jaka Tarub ayah Nawangsih tidak ingin
ditinggal olehnya, karena Jaka Tarub sudah ditinggal oleh istrinya karena
perbuatannya. Dan dia belum ingin kehilangan putri sematawayangnya tersebut.
Dari
cerita diatas kita bisa ambil hikmahnya bahwa Sesuatu yang tidak didasari
kejujuran, pasti akan menjadi masalah di belakang hari. Percayalah bahwa
masalah yang akan datang itu bukan masalah yang biasa saja. Kejujuran merupakan
fondasi dari segala macam hubungan supaya tercapainya harmonisasi. Seseorang
yang jujur kepada pasangannya tentu akan menambah nilai kebersamaan mereka.
Nilai kebersamaan itu akan menjadi lengkap tanpa adanya rasa was-was akan
rahasia yang terungkap dan lain sebagainya. Selain itu orang yang jujur tidak
memiliki celah yang bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak menyukainya.
-Bramasta Krisna Diandra/16410074-
-Bramasta Krisna Diandra/16410074-
0 komentar:
Posting Komentar